SEJARAH LAGU INDONESIA RAYA
Lagu ini di
zaman Belanda sempat menghebohkan, tahun 1930 Indonesia Raja dilarang
dinyanyikan umum. 28 Oktober 1928 malam, di gedung Jl. Kramat Raya 106 Batavia,
pemuda Wage Rudolf Supratman (9 Maret 1903 – 17 Agustus 1938) menyebarkan lirik
konsep suatu lagu kepada hadirin di sana. Pada malam penutupan Kongres Pemoeda
itu pada Desember 1928, Supratman dengan gesekan biolanya mengiringi sebarisan
paduan suara, mengetengahkan lagu ciptaannya berjudulIndonesia Raja. Dua bulan
kemudian ode (lagu pujian perjuangan) tersebut menjadi amat populer, terutama
dipelopori anggota Kepanduan Bangsa Indonesia, sebab dalam lirik ode tersebut
ada kalimat “jadi pandu ibuku”.
Supratman,
putra Sersan KNIL Djoermeno Senen Sastrosoehardjo, di saat itu memang sudah
dikenal sebagai komponis, serta wartawan dan penulis muda berbakat. Berkat
pergaulannya cukup luas di kalangan kaum muda, hatinya tergerak untuk
menciptakan ode itu, walau kemudian oleh beberapa pengamat, dikatakan
lagu Indonesia Raya itu terpengaruh La Marseille – ciptaan
Rouget de L’isle (1922).
Lagu ini di
zaman Belanda sempat menghebohkan, tahun 1930 Indonesia Raja dilarang
dinyanyikan umum, karena dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan. Supratman
diinterogasi dan ditanya mengapa memakai kata “merdeka, merdeka”. Dia menjawab
kata-kata itu diubah pemuda lainnya, sebab lirik aslinya “moelia, moelia”.
Protes pun berdatangan, sampai volksraad turun tangan. Akhirnya laguIndonesia
Raya minus lirik “merdeka, merdeka” boleh dinyanyiakn, asal dalam ruangan
tertutup!
Menjelang
ujung umurnya, setelah menciptakan lagu Dari Barat Sampai ke Timur, Bendera
Kita, Ibu Kita Kartini dan lainnya, Supratman pada 7 Agustus 1938
ditangkap Belanda di Surabaya, gara-gara lagunyaMatahari Terbit yang
dianggap mengandung “simpati” terhadap Kekaisaran Jepang. Lagu itu pun dilarang
diperdengarkan di muka umum. Tak lama kemudian, W.R. Supratman yang dinyatakan
ekstrem ini wafat.
Jepang
menduduk Indonesia tahun 1942. Lagu Indonesia Raya segera dilarang
dikumandangkan, walau sebelumnya Jepang sempat mengudarakan lagu ini lewat
Radio Jepang – untuk mengambil hati “saudara mudanya”. Tapi setelah merasa
kedudukannya goyah, Jepang membentuk Panitia Lagu Kebangsaan pada tahun 1944.
Naskah asli
Supratman tahun 1928, kemudian diubah beberapa kata-katanya. Namun, perubahan
cukup besar terjadi pada refrain lagu 1928 : Indones’, Indones’
Moelia, Moelia Tanahkoe, negrikoe yang Koetjinta Indones’, Indones’ Moelia
Moelia, Hidoeplah Indonesia Raja, menjadi: “Indonesia Raya, Merdeka
Merdeka, Tanahku, Negriku yang Kucinta, Indonesia Raya, Merdeka Merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya” (dalam versi 1944).
Setelah Jepang angkat kaki dari
Indonesia, namun sampai Agustus 1948 belum ada keseragaman, hingga dibentuklah
Panitia Indonesia Raya pada 16 November 1948. Baru pada 26 Juni 1958 keluar
peraturan pemerintah tentang lagu Indonesia Raya dalam enam bab
khusus yang mengatur tata tertib, sampai keseragaman nada, irama, kata, dan
gubahan lagu
Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Republik Indonesia. Lagu ini pertama kali diperkenalkan oleh komponisnya, Wage Rudolf Soepratman, pada tanggal 28 Oktober 1928 pada saat Kongres Pemuda II di Batavia. Lagu ini .menandakan kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia yang mendukung ide satu "Indonesia" sebagai penerus Hindia Belanda, daripada dipecah menjadi beberapa koloni
Stanza pertama dari Indonesia Raya dipilih sebagai lagu kebangsaan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945
Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan Republik Indonesia. Lagu ini pertama kali diperkenalkan oleh komponisnya, Wage Rudolf Soepratman, pada tanggal 28 Oktober 1928 pada saat Kongres Pemuda II di Batavia. Lagu ini .menandakan kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara di Indonesia yang mendukung ide satu "Indonesia" sebagai penerus Hindia Belanda, daripada dipecah menjadi beberapa koloni
Stanza pertama dari Indonesia Raya dipilih sebagai lagu kebangsaan ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945
Indonesia Raya dimainkan pada upacara bendera. bendera indonesia dinaikkan dengan khidmat dan gerakan yang diatur sedemikian supaya bendera mencapai puncak tiang bendera ketika lagu berakhir. Upacara bendera utama diadakan setiap tahun pada tanggal 17 Agustus untuk memperingati hari kemerdekaan indonesia Upacara ini dipimpin oleh presiden indonesia
Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
Ketika mempublikasikan Indonesia Raya tahun 1928, Wage Rudolf Soepratman dengan jelas menuliskan "lagu kebangsaan" di bawah judul Indonesia Raya. Teks lagu Indonesia Raya dipublikasikan pertama kali oleh suratkabar Sin Po, sedangkan rekaman pertamanya dimiliki oleh seorang pengusaha bernama Yo Kim Tjan.
Setelah dikumandangkan tahun 1928 dihadapan para peserta Kongres Pemuda II dengan biola, pemerintah kolonial Hindia Belanda segera melarang penyebutan lagu kebangsaan bagi Indonesia Raya. Meskipun demikian, para pemuda tidak gentar. Mereka menyanyikan lagu itu dengan mengucapkan "Mulia, Mulia!" (bukan "Merdeka, Merdeka!") pada refrein. Akan tetapi, tetap saja mereka menganggap lagu itu sebagai lagu kebangsaan.[1] Selanjutnya lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan pada setiap rapat partai-partai politik. Setelah Indonesia merdeka, lagu itu ditetapkan sebagai lagu Kebangsaan perlambang persatuan bangsa.
Namun pada saat menjelaskan hasil Festival Film Indonesia (FFI) 2006 yang kontroversial dan pada kompas tahun 1990-an, Remy Sylado, seorang budayawan dan seniman senior Indonesia mengatakan bahwa lagu Indonesia Raya merupakan jiplakan dari sebuah lagu yang diciptakan tahun 1600-an berjudul Lekka Lekka Pinda Pinda. Kaye A. Solapung, seorang pengamat musik, menanggap tulisan Remy dalam Kompas tanggal 22 Desember 1991. Ia mengatakan bahwa Remy hanya sekadar mengulang tuduhan Amir Pasaribu pada tahun 1950-an. Ia juga mengatakan dengan mengutip Amir Pasaribu bahwa dalam literatur musik, ada lagu Lekka Lekka Pinda Pinda di Belanda, begitu pula Boola-Boola di Amerika Serikat. Solapung kemudian membedah lagu-lagu itu. Menurutnya, lagu Boola-boola dan Lekka Lekka tidak sama persis dengan Indonesia Raya, dengan hanya delapan ketuk yang sama. Begitu juga dengan penggunaan Chord yang jelas berbeda. Sehingga, ia menyimpulkan bahwa Indonesia Raya tidak menjiplak.